Tujuh belas tahun menyatu dengan suku Sawi di pedalaman
Irian Jaya yang belum pernah terjamah orang luar, Jim Yost dan istrinya, Joan
Yost, melayani dengan sepenuh hati. Segala tantangan bahkan sampe yang
terberat pernah mereka alami. Kini ia pengen bagiin hatinya buat kita semua. (erl)
JIM YOST
17 tahun menyatu dengan Suku Sawi
Lahir dalam keluarga Kristen en menjalani masa kecil di
lingkungan gereja nggak bikin Jim jadi anak yang baik. Sewaktu Papanya yang
adalah majelis gereja meninggal gara-gara stroke, Jim yang baru berumur 13
tahun marah sama Tuhan en kepaitan. “Saya
tinggalkan gereja, tinggalkan iman dari orang tua dan berontak beberapa taun. Tapi
dalam pemberontakan itu, Tuhan melindungi hidup saya dari kejahatan yang saya
buat. Seharusnya saya mungkin mati dalam kejahatan itu Tuhan lindungi hidup
saya.”
Selama di SMA, Jim malah terlibat narkoba en jadi bandar.
Ujung-ujungnya dia masuk penjara. “Tuhan
ijinkan hidup saya jatuh sedalam-dalamnya supaya saya tahu saya perlu Tuhan.
Dan waktu keluar dari situ ada kaum muda di kota yang sudah lama mendoakan saya
tapi saya tidak tahu. Mereka undang saya ke camping retreat pemuda di atas
gunung”. Dengan motivasi pengen nyari cewek, Jim malah ‘ditangkap’ Tuhan di
sana, padahal selama 4 hari Jim mengeraskan hatinya. “Hari kelima Roh Kudus nembus hati saya dan semua isi hati saya
terekspos dan saya berlutut mengakui semua dan menangis dan serahkan hidup ini
kepada Tuhan. Itu waktu umur saya 18 tahun”.
Pulang dari sana, Jim nerusin kuliah karena dapet
beasiswa dari University of California Los Angles. Tapi baru minggu ketiga
kuliah Jim keluar. “Saya menyadari hidup
saya perlu dimuridkan dan dibentuk, jadi saya cari sekolah dimana saya bisa
belajar Firman dan ada pembentukan karakter saya”. Jim mendaftar ke sekolah
Alkitab, tapi dua kali dia ditolak gara-gara penampilannya yang masih kayak
preman. “Rambutku memang agak panjang jadi
mereka pikir saya tidak serius. Tapi ada satu sekolah di California bagian
utara, mereka terima banyak anak yang bertobat pada waktu itu. Di Amerika pada
waktu itu ada suatu gerakan namanya Jesus People Movement. Yang banyak dari gerakan
hippies seperti saya diselamatkan dan dari jalan dan dari hidup yang kacau. Banyak
datang ke sekolah ini dan masuk hanya untuk setahun buat belajar. Saya begitu
senang, saya tambah satu tahun lagi tambah satu tahun lagi.”. Di situlah
benih misi ditanam dalam hati Jim. Benih itu berkembang, bertunas dan berbuah dalam
hatinya.
Jim lalu pergi misi ke Korea dan Jepang selama tiga
bulan. Di Korea nggak jadi masalah, tapi tiba di Jepang ia merasa resah. Jim
nggak suka Jepang yang banyak penyembah berhalanya dan sulit berkomunikasi, “Saya bilang: ‘Tuhan, saya tidak bisa jadi
misionari’ dan Tuhan jawab: ‘Betul Jim, kamu tidak bisa jadi misionari... tapi
Aku bisa jadikan kamu misionari yang sukses!’”. Dari situ Jim mulai belajar
bahwa panggilan misi nggak ada hubungan dengan kemauan or kemampuan saya, tapi semua
tentang ketaatan. “Hari itu saya tahu
saya akan tinggalkan Amerika dan tidak akan kembali lagi”.
Beberapa bulan kemudian Jim ketemu sama calon istrinya,
Joan. Ternyata dia juga disiapkan Tuhan untuk menjadi misionaris. “Kami ketemu waktu mision trip di Meksiko.
Kami lalu melakukan misi bersama-sama ke berbagai negara. Tapi di antara semua
ada satu yang Tuhan simpan betul dalam hati kami, yakni suku-suku terasing. Suku-suku
yang tidak punya kesempatan mendengar Injil sama sekali.” Jim dan istrinya
lalu melakukan riset dan menemukan kalo di Irian Jaya ada 250 suku di tengah
hutan yang belum ‘terjamah’ dunia luar. Mereka memilih tempat yang belum
dijangkau misionaris lainnya, bahkan yang misionaris lain enggan masuk ke
dalamnya.
Di bagian selatan Merauke, di tengah hutan, di daerah
rawa penuh nyamuk malaria, ada suku Sawi yang belum pernah dimasuki orang luar.
Dengan naik pesawat ampibi kami turun disambut warga kampung dengan
terheran-heran. “Istri saya diliat dari
ujung kepala sampe kaki oleh para ibu-ibu yang hanya memakai rok dari rumput
kering, diraba-raba, lalu mereka menari berkeliling dan membawa istri saya.
Para lelakipun berbuat sama terhadap saya.”
Jim dan istrinya belajar dari nol, mereka sama sekali nggak ngerti
bahasa mereka. Hari pertama di sana mereka disambut dengan pesta, disuguhi
makanan penghormatan: ulat sagu yang masih hidup. “Kami tutup mata dan bayangkan es krim waktu kami masukkan dalam
mulut.”
Selesai makan, tiba-tiba semua berteriak. Ternyata ada
perang suku! Sekitar seribu orang bertikai, mereka mulai lempar anak panah, “Kami tidak tahu ternyata ada dua kelompok
bermusuhan di dalam suku ini dan hari itu mereka sepakat akan berperang. Di
sekolah alkitab di Amerika tidak ada mata pelajaran tentang perang suku. Apa
kami bisa buat. Di sekitar kami ada orang yang mati dibunuh dan saya harus
jujur bahwa saya takut. Tapi pada waktu itu sepertinya Tuhan membungkusi hati
kami supaya roh ketakutan tidak bisa masuk.”
Jim dan istrinya harus merawat orang-orang yang terluka
saat itu, padahal nggak ada satupun dari mereka yang tau medis. “Kami hanya bisa
berdoa. Aro, si pemimpin perang, kepanya dipukul oleh kapak batu dan kulitnya
mengelupas. Kami kira dia sudah mati. Lalu kami coba pasang lagi kulitnya dan
kami doakan. Beberapa hari kemudian dia
membaik, tapi bukannya bersyukur, malah dia kembali berperang.” Roh peperangan
ada pada suku ini, tiap minggu selalu terjadi perang pada tahun-tahun awal
pelayanan Jim.
Tantangan terus berlanjut, dua tahun pertama 12 kali Jim
jatuh sakit gara-gara malaria. Malaria di sana adalah yang paling ganas di
dunia. Tiap 2 bulan Jim sakit malaria
dan setiap 2 bulan keluar dengan pesawat. Tapi itu nggak menyurutkan
semangatnya untuk melayani. “Kami pakai
pola pelayanan inkarnasi. Tuhan aja mau meninggalkan kemuliaan di Surga dan menjadi
manusia agar bisa berkomunikasi dengan manusia dengan semua keterbatasan manusia.
Kamipun mau jadi seperti itu, kami mau menjadi seperti orang Sawi dan kami minta
Tuhan tolong dengan kasih karunia supaya kami bisa menyesuaikan.” So, tiap
hari mereka bergaul dengan orang Sawi, mendayung mencari makan, berburu di
hutan. Setelah satu tahun mereka dipanggil oleh kepala suku dan dia bilang
meskipun warna kulitnya berbeda, tapi Jim dan istrinya udah hawak maidap, artinya satu perut dengan
mereka, sudah diterima. “Itu yang kami
mau karena penginjil harus diterima sebelum Injil dapat diterima. Tapi itu
tidak berarti bahwa mereka dengan mudah mau terima Injil. Masuk tahun kedua,
bahasa lebih lancar, kami mulai terjemahkan Alkitab. Khotbah dimana-mana tapi
mereka tetap tidak mau terima. Masuk tahun ketiga, mereka mulai mengerti tapi
tidak ada yang mau mempercayai dan apalagi ada ancaman-ancaman dari dukun-dukun
yang ada disitu. Mereka buat ancaman kalo ada satu orangpun yang terima Injil
dari luar kami akan bunuh dengan sihir. Dan itu membuat semua orang takuti.”
Suatu hari Jim merasa menyerah, tapi ternyata Tuhan buka
jalan. Seorang anak kecil umur satu tahun meninggal di kampung itu karena
tenggelam. “Ada 1200 orang berkumpul, ibu-ibu
mulai potong diri dengan alat tajam, yang lain lompat ke dalam lumpur dan ke
dalam api, itu adalah cara mereka berduka kalo ada orang yang meninggal”. Segala usaha pertolongan pertama dilakukan Jim
dan istrinya, tapi anak itu udah nggak bernapas lagi, “Saya berdiri dan saya mulai suarakan satu doa spontan. Saya tidak berpikir,
saya hanya mulai berdoa. Satu doa yang dalam hidup saya belum pernah saya doakan.
Tiba-tiba ada karunia iman yang Tuhan berikan. Saya mulai berdoa: ‘Tuhan,
walaupun masyarakat ini belum mengakui Engkau sebagai Tuhan dan Allah mereka,
sebagai tanda kasihMu bangkitkanlah anak ini dari kematian!”. Tiba-tiba
dari mulut anak itu mulai mengalir air keluar dan dia mulai bernapas!
Dari situlah Jim menjelaskan apa yang terjadi kepada
mereka, ini semua Tuhan yang buat sebagai tanda kasihNya. Satu minggu dari hari
itu mereka diundang ke satu kampung untuk ajar mereka tentang jalan keselamatan,
lalu setiap hari, siang maupun malam. “Sesudah
satu minggu baru mulai ada orang percaya Yesus. Bukan satu dua tiga orang tapi
sepuluh dua puluh tiga puluh sekeluarga mereka datang kepada Tuhan. Tiap minggu
menjadi gelombang-gelombang sampai akhirnya hari ini 80% suku Sawi percaya
Tuhan Yesus.”
Sudah 17 tahun mereka melayani di sana. Mereka mengadakan
katesasi bimbingan, mendidik penatua-penatua dari kaum mereka sendiri,
menerjemahkan Alkitab, membuat peternakan, membuka poliklinik dan berbagai
fasilitas agar mereka bisa mandiri. “Kami
tahu sesudah 17 tahun itu sudah cukup, kami harus buka pelayanan baru. Tuhan
bilang suku baru yang harus kami layani adalah generasi muda. Mereka satu suku
dengan bahasa dan budaya sendiri yang harus dijangkau. Jadi kami pindah ke kota
Sentani, dekat Jayapura dan mulai pelayanan gereja anak muda. Dengan banyak
anak muda yang tidak merasa gereja relevan lagi. Kami coba buat pelayanan yang
lebih terfokus dengan keperluan mereka.” Kini mereka melayani di Pondok
Kemuliaan Sentani Papua.
Guys, apakah kamu Jim Yost berikutnya? Masih banyak ladang
misi yang butuh orang-orang yang mau memenuhi panggilannya. Jim Yost membagikan
sesuatu yang perlu kita ingat kalo kita terbeban dalam pelayanan misi. “Dengarlah suara Tuhan waktu masih muda, mulai
melangkah dan cobalah melayani Tuhan dengan apa yang ada padamu. Jangan takut
gagal, Tuhan bisa pakai kegagalan itu sebagai pelatihan buat kita. Anak muda
sangat fleksibel, bisa pergi kemana-mana, berbuat apapun, makan apapun, belajar
bahasa manapun”.
Satu lagi pesan Jim adalah jangan takut untuk belajar
budaya baru di tempat kita melayani, Tuhan akan mencukupi semua apa yang kita
perlu. “Yang penting kita mulai taat dan
melangkah dengan Tuhan. Dia akan memberi kemampuan. Misi ada di tangan anak
muda sekarang. Seperti di pertandingan lari. Sekarang kami memberi tongkat pada
anak muda dan anak muda akan melebihi kami. Ini sesuatu yang baru untuk
generasi sekarang. Setiap generasi pasti ada yang baru tidak bisa meneruskan
dari generasi yang lama.” (**)