La Vita è Bella
~ Jenny Jusuf ~
My life just getting worse. I’m lost. It’s
a disaster.
SMS itu masuk ke handphone
saya pukul sembilan pagi, tepat setelah saya ‘histeris’ menemukan hasta karya
tikus di tong sampah kantor.
Bo, sampah berserakan dalam
potongan-potongan kecil, dimana-mana ada bekas gigitan tikus, sampai plastik kresek juga dicincang mungil-mungil. *Okay, informasi nggak penting. Balik ke topik.*
Pengirimnya adalah seorang sahabat lama. Dengan cepat
saya mengetik balasan, menanyakan masalahnya.
Sambil menunggu jawaban, saya mengerjakan tugas-tugas
kantor, tetapi pikiran saya tak mau tenang.
Masalah, masalah, masalah.
Rasanya akhir-akhir ini hanya itu yang saya dengar;
dimana-mana, dalam keluarga saya, kehidupan pribadi saya, sahabat-sahabat saya,
bahkan asisten rumah tangga saya.
Ada yang mumet
karena benturan berkepanjangan yang terjadi dalam organisasi yang dipimpinnya.
Ada yang stress karena suaminya terlibat pelanggaran hukum dan terancam dideportasi dari
negara tempatnya tinggal dan bekerja. Ada yang terlibat hutang ratusan juta
pada bank dan terpaksa main kucing-kucingan dengan debt collector. Ada yang ayahnya sakit-sakitan sementara ia tak
punya uang untuk membiayai pengobatan. Ada yang patah hati dan harus merelakan
impian yang sudah dibangun sekian lama. Ada yang orangtuanya meninggal dan ‘mewariskan’
hutang yang sangat besar, plus segudang masalah di perusahaan. Ada yang kakak
tersayangnya minggat dari rumah dan membuat satu keluarga panik jaya. Ada yang
baru menikah dan merasa telah membuat kesalahan terbesar dalam hidup. Ada yang
kehilangan anak, istri dan cucu pada waktu nyaris bersamaan karena sakit. Ada
yang frustrasi karena terlalu keras berusaha menggapai impian dan mentok di
tengah jalan. Bahkan ada yang sampai didiagnosa terkena mental disorder.
Hidup yang terus berputar ini memang tak pernah luput
dari persoalan, dari yang sederhana sampai yang rumit. Tapi, kok kali ini banyak
banget ya, yang dirundung *tsah*
masalah dalam waktu yang sama? Dan semuanya bukan masalah ringan.
Dari semuanya, mungkin salah satu yang terberat adalah
persoalan yang dialami seorang teman, yang sudah lama tidak saya jumpai. Kabar
terakhir yang saya dengar, ia terlilit kesulitan ekonomi yang parah sampai
tidak sanggup menghidupi keluarganya dan terpaksa ‘mengemis’ belas kasihan
orang.
Bertahun-tahun lalu, teman saya terlibat penggelapan di sebuah
perusahaan yang mengakibatkannya kehilangan reputasi dan nyaris dipecat.
Setelah ia mengundurkan diri, tidak seorang pun yang tahu bagaimana kondisinya,
sampai kawan saya bertemu dengannya beberapa bulan lalu.
Menurut cerita, kondisi teman kami itu sangat
memprihatinkan. Tubuhnya kurus, tidak terawat dan tampak jauh lebih tua sampai
sulit dikenali. Setelah gagal mendapatkan pekerjaan, ia memohon diberi bantuan
uang sekadarnya.
“Ah, dia kayak gitu kan karena kelakuannya yang dulu. Dia
yang milih jalan hidupnya sendiri, jadi biarin aja. Jalanin konsekuensinya, lah,”
komentar seorang teman yang turut mendengarkan cerita itu.
Saya terdiam. Tiba-tiba mie ayam di depan saya tak lagi
menggiurkan. Perut saya kenyang mendadak.
Saya tidak menyalahkan komentar itu. Semua orang bebas
memiliki pendapat dan perspektif masing-masing. Namun, tak urung saya mencelos.
Sepertinya memang jauh lebih mudah mencari maaf dari Tuhan ketimbang sesama
manusia. Mungkin Tuhan jauh lebih mudah mengampuni karena Ia mahakuasa. Atau justru manusia yang
harus malu, karena dalam kemahakuasaanNya Tuhan bisa saja menurunkan petir dari
langit untuk membantai mereka yang berdosa, namun memilih untuk tidak
melakukannya karena senista apapun seorang manusia, tak ada yang tak layak
diberi kesempatan kedua?
Dan SMS-SMS yang saya terima, berita yang saya dengar dan
baca, persoalan yang silih berganti sampai menyesakkan indera pendengaran dan
hati...
AADD? Ada Apa dengan Dunia? *Halah*
Apakah dunia memang sudah semakin ‘sakit’? Bumi semakin
tua, namun dari hari ke hari yang terlihat bukan dunia yang lebih baik,
melainkan dunia yang semakin rusak, penuh kekacauan dan penderitaan, dimana
seluruh penghuninya berlomba-lomba memuaskan keinginan sendiri dan
memprioritaskan kepentingan pribadi atas nama ego.
Kita berjalan sendiri-sendiri, tak lagi bergandengan tangan
- meski saya juga tak tahu kapan terakhir kali orang-orang di dunia ini
bergandengan tangan dalam cinta. Atau pada dasarnya kita memang sekumpulan
makhluk individualis, dalam arti sebenar-benarnya? Berkumpul, tapi tak bersatu.
Bersama, namun tak beriringan. Berkelompok, tapi bergerak sendiri-sendiri.
Ketika seseorang ditimpa bencana, kita hanya menoleh
sekilas, menatap dengan iba, menyuarakan sepatah komentar, lalu kembali
memandang lurus ke depan, sibuk dengan jalan yang kita titi setiap hari. Karena
hidup harus terus berlanjut dan semua orang memiliki persoalan sendiri-sendiri.
Dan beban masing-masing. Dan perjalanan yang harus ditempuh.
Dan tulisan ini semakin nggak jelas arahnya. ;-)
Lepas dari apapun, ini yang selalu saya percayai sepenuh
hati: entah hidup ini baik-baik saja atau penuh masalah, entah hati ini
diliputi kebahagiaan atau kesedihan, entah tertawa atau menangis, setiap hari
akan selalu ada matahari. Setiap hari akan selalu ada embun di pucuk pohon,
udara segar pagi, kicau burung, angin semilir, derai tawa kanak-kanak, air
putih menyegarkan, dan langit senja.
Setiap hari kita membuka mata dan menarik nafas. Entah
sadar atau tidak, entah hati sedang gembira atau murung, entah optimis atau
galau, entah kita berjalan sendirian atau menggenggam tangan seseorang, hidup
memang terus bergulir. Maka, melangkahlah. Tapaki perjalanan yang belum usai
ini.
Jika tiba saatnya melepas, lepaskanlah. Jika masih harus
menggenggam, kepalkan jemari dan jagalah baik-baik. Jika tiba saatnya berhenti,
berhentilah. Jika tiba saatnya beristirahat, duduklah di tepian. Jika tiba saatnya
berjalan lagi, menapaklah. Jika tiba saatnya berlari, ambillah ancang-ancang.
Jika tiba saatnya terbang, melayanglah tinggi.
Jika beban terasa berat menghimpit sampai tak ada celah
untuk melantunkan sebait syukur, setidaknya bersyukurlah karena kita masih
diberi pilihan untuk berbahagia (iya, saya percaya bahagia itu pilihan). Kita
selalu bisa memilih untuk berselimut lara atau berterima kasih ke hadirat Sang
Pencipta atas sebentuk rahmat bernama Kehidupan, yang
masih dipercayakanNya kepada kita hingga detik ini.
Ya, berterima kasih, karena apapun yang terjadi, hidup
adalah anugerah yang harus diisi dengan rasa syukur. Seperti kalimat cantik
yang tersimpan di ponsel saya: La Vita è Bella. Hidup ini sungguh
indah.
:-)
Saya cuma punya satu doa: berikan saya hati yang luas.
Untuk mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan;
walau uluran itu mungkin hanya berupa usapan di punggung, tepukan di pundak,
SMS menghibur, percakapan hangat, atau sekadar mendengarkan.
Untuk memberi tanpa mengharap kembali*. Untuk mencintai
tanpa syarat. Untuk menerima perbedaan tanpa tergoda menghakimi. Untuk selalu
membuka pintu maaf. Untuk mengesampingkan ego. Untuk terus bangkit, tidak
peduli berapa kali pun saya tersandung dan jatuh. Untuk tahu kapan harus
melambatkan langkah, kapan harus berhenti, kapan harus berjalan, kapan harus
berlari. Untuk menerima hal-hal yang tidak sejalan dengan keinginan sebagai
bagian dari hidup yang terus berproses. Untuk terus belajar, berkembang dan tumbuh
dewasa...
...untuk senantiasa tersenyum dan tertawa bersama
kehidupan, karena apapun yang terjadi, meski ia jauh dari sempurna, hidup ini
indah apa adanya.
Ya, hati yang luas.
Hanya itu.
*Ada yang inget ini lagu apa? ;-D
No comments:
Post a Comment