Monday, May 6, 2013

JIM YOST 17 tahun menyatu dengan Suku Sawi



Tujuh belas tahun menyatu dengan suku Sawi di pedalaman Irian Jaya yang belum pernah terjamah orang luar, Jim Yost dan istrinya, Joan Yost, melayani dengan sepenuh hati. Segala tantangan bahkan sampe yang terberat pernah mereka alami. Kini ia pengen bagiin hatinya buat kita semua. (erl)


JIM YOST
17 tahun menyatu dengan Suku Sawi

Lahir dalam keluarga Kristen en menjalani masa kecil di lingkungan gereja nggak bikin Jim jadi anak yang baik. Sewaktu Papanya yang adalah majelis gereja meninggal gara-gara stroke, Jim yang baru berumur 13 tahun marah sama Tuhan en kepaitan. “Saya tinggalkan gereja, tinggalkan iman dari orang tua dan berontak beberapa taun. Tapi dalam pemberontakan itu, Tuhan melindungi hidup saya dari kejahatan yang saya buat. Seharusnya saya mungkin mati dalam kejahatan itu Tuhan lindungi hidup saya.”

Selama di SMA, Jim malah terlibat narkoba en jadi bandar. Ujung-ujungnya dia masuk penjara. “Tuhan ijinkan hidup saya jatuh sedalam-dalamnya supaya saya tahu saya perlu Tuhan. Dan waktu keluar dari situ ada kaum muda di kota yang sudah lama mendoakan saya tapi saya tidak tahu. Mereka undang saya ke camping retreat pemuda di atas gunung”. Dengan motivasi pengen nyari cewek, Jim malah ‘ditangkap’ Tuhan di sana, padahal selama 4 hari Jim mengeraskan hatinya. “Hari kelima Roh Kudus nembus hati saya dan semua isi hati saya terekspos dan saya berlutut mengakui semua dan menangis dan serahkan hidup ini kepada Tuhan. Itu waktu umur saya 18 tahun”.

Pulang dari sana, Jim nerusin kuliah karena dapet beasiswa dari University of California Los Angles. Tapi baru minggu ketiga kuliah Jim keluar. “Saya menyadari hidup saya perlu dimuridkan dan dibentuk, jadi saya cari sekolah dimana saya bisa belajar Firman dan ada pembentukan karakter saya”. Jim mendaftar ke sekolah Alkitab, tapi dua kali dia ditolak gara-gara penampilannya yang masih kayak preman. “Rambutku memang agak panjang jadi mereka pikir saya tidak serius. Tapi ada satu sekolah di California bagian utara, mereka terima banyak anak yang bertobat pada waktu itu. Di Amerika pada waktu itu ada suatu gerakan namanya Jesus People Movement. Yang banyak dari gerakan hippies seperti saya diselamatkan dan dari jalan dan dari hidup yang kacau. Banyak datang ke sekolah ini dan masuk hanya untuk setahun buat belajar. Saya begitu senang, saya tambah satu tahun lagi tambah satu tahun lagi.”. Di situlah benih misi ditanam dalam hati Jim. Benih itu berkembang, bertunas dan berbuah dalam hatinya.

Jim lalu pergi misi ke Korea dan Jepang selama tiga bulan. Di Korea nggak jadi masalah, tapi tiba di Jepang ia merasa resah. Jim nggak suka Jepang yang banyak penyembah berhalanya dan sulit berkomunikasi, “Saya bilang: ‘Tuhan, saya tidak bisa jadi misionari’ dan Tuhan jawab: ‘Betul Jim, kamu tidak bisa jadi misionari... tapi Aku bisa jadikan kamu misionari yang sukses!’”. Dari situ Jim mulai belajar bahwa panggilan misi nggak ada hubungan dengan kemauan or kemampuan saya, tapi semua tentang ketaatan. “Hari itu saya tahu saya akan tinggalkan Amerika dan tidak akan kembali lagi”.

Beberapa bulan kemudian Jim ketemu sama calon istrinya, Joan. Ternyata dia juga disiapkan Tuhan untuk menjadi misionaris. “Kami ketemu waktu mision trip di Meksiko. Kami lalu melakukan misi bersama-sama ke berbagai negara. Tapi di antara semua ada satu yang Tuhan simpan betul dalam hati kami, yakni suku-suku terasing. Suku-suku yang tidak punya kesempatan mendengar Injil sama sekali.” Jim dan istrinya lalu melakukan riset dan menemukan kalo di Irian Jaya ada 250 suku di tengah hutan yang belum ‘terjamah’ dunia luar. Mereka memilih tempat yang belum dijangkau misionaris lainnya, bahkan yang misionaris lain enggan masuk ke dalamnya.

Di bagian selatan Merauke, di tengah hutan, di daerah rawa penuh nyamuk malaria, ada suku Sawi yang belum pernah dimasuki orang luar. Dengan naik pesawat ampibi kami turun disambut warga kampung dengan terheran-heran. “Istri saya diliat dari ujung kepala sampe kaki oleh para ibu-ibu yang hanya memakai rok dari rumput kering, diraba-raba, lalu mereka menari berkeliling dan membawa istri saya. Para lelakipun berbuat sama terhadap saya.”  Jim dan istrinya belajar dari nol, mereka sama sekali nggak ngerti bahasa mereka. Hari pertama di sana mereka disambut dengan pesta, disuguhi makanan penghormatan: ulat sagu yang masih hidup. “Kami tutup mata dan bayangkan es krim waktu kami masukkan dalam mulut.”

Selesai makan, tiba-tiba semua berteriak. Ternyata ada perang suku! Sekitar seribu orang bertikai, mereka mulai lempar anak panah, “Kami tidak tahu ternyata ada dua kelompok bermusuhan di dalam suku ini dan hari itu mereka sepakat akan berperang. Di sekolah alkitab di Amerika tidak ada mata pelajaran tentang perang suku. Apa kami bisa buat. Di sekitar kami ada orang yang mati dibunuh dan saya harus jujur bahwa saya takut. Tapi pada waktu itu sepertinya Tuhan membungkusi hati kami supaya roh ketakutan tidak bisa masuk.”

Jim dan istrinya harus merawat orang-orang yang terluka saat itu, padahal nggak ada satupun dari mereka yang tau medis. “Kami hanya bisa berdoa. Aro, si pemimpin perang, kepanya dipukul oleh kapak batu dan kulitnya mengelupas. Kami kira dia sudah mati. Lalu kami coba pasang lagi kulitnya dan kami  doakan. Beberapa hari kemudian dia membaik, tapi bukannya bersyukur, malah dia kembali berperang.” Roh peperangan ada pada suku ini, tiap minggu selalu terjadi perang pada tahun-tahun awal pelayanan Jim.


Tantangan terus berlanjut, dua tahun pertama 12 kali Jim jatuh sakit gara-gara malaria. Malaria di sana adalah yang paling ganas di dunia. Tiap 2 bulan Jim  sakit malaria dan setiap 2 bulan keluar dengan pesawat. Tapi itu nggak menyurutkan semangatnya untuk melayani. “Kami pakai pola pelayanan inkarnasi. Tuhan aja mau meninggalkan kemuliaan di Surga dan menjadi manusia agar bisa berkomunikasi dengan manusia dengan semua keterbatasan manusia. Kamipun mau jadi seperti itu, kami mau menjadi seperti orang Sawi dan kami minta Tuhan tolong dengan kasih karunia supaya kami bisa menyesuaikan.” So, tiap hari mereka bergaul dengan orang Sawi, mendayung mencari makan, berburu di hutan. Setelah satu tahun mereka dipanggil oleh kepala suku dan dia bilang meskipun warna kulitnya berbeda, tapi Jim dan istrinya udah hawak maidap, artinya satu perut dengan mereka, sudah diterima. “Itu yang kami mau karena penginjil harus diterima sebelum Injil dapat diterima. Tapi itu tidak berarti bahwa mereka dengan mudah mau terima Injil. Masuk tahun kedua, bahasa lebih lancar, kami mulai terjemahkan Alkitab. Khotbah dimana-mana tapi mereka tetap tidak mau terima. Masuk tahun ketiga, mereka mulai mengerti tapi tidak ada yang mau mempercayai dan apalagi ada ancaman-ancaman dari dukun-dukun yang ada disitu. Mereka buat ancaman kalo ada satu orangpun yang terima Injil dari luar kami akan bunuh dengan sihir. Dan itu membuat semua orang takuti.”

Suatu hari Jim merasa menyerah, tapi ternyata Tuhan buka jalan. Seorang anak kecil umur satu tahun meninggal di kampung itu karena tenggelam. “Ada 1200 orang berkumpul, ibu-ibu mulai potong diri dengan alat tajam, yang lain lompat ke dalam lumpur dan ke dalam api, itu adalah cara mereka berduka kalo ada orang yang meninggal”.  Segala usaha pertolongan pertama dilakukan Jim dan istrinya, tapi anak itu udah nggak bernapas lagi, “Saya berdiri dan saya mulai suarakan satu doa spontan. Saya tidak berpikir, saya hanya mulai berdoa. Satu doa yang dalam hidup saya belum pernah saya doakan. Tiba-tiba ada karunia iman yang Tuhan berikan. Saya mulai berdoa: ‘Tuhan, walaupun masyarakat ini belum mengakui Engkau sebagai Tuhan dan Allah mereka, sebagai tanda kasihMu bangkitkanlah anak ini dari kematian!”. Tiba-tiba dari mulut anak itu mulai mengalir air keluar dan dia mulai bernapas!

Dari situlah Jim menjelaskan apa yang terjadi kepada mereka, ini semua Tuhan yang buat sebagai tanda kasihNya. Satu minggu dari hari itu mereka diundang ke satu kampung untuk ajar mereka tentang jalan keselamatan, lalu setiap hari, siang maupun malam. “Sesudah satu minggu baru mulai ada orang percaya Yesus. Bukan satu dua tiga orang tapi sepuluh dua puluh tiga puluh sekeluarga mereka datang kepada Tuhan. Tiap minggu menjadi gelombang-gelombang sampai akhirnya hari ini 80% suku Sawi percaya Tuhan Yesus.”

Sudah 17 tahun mereka melayani di sana. Mereka mengadakan katesasi bimbingan, mendidik penatua-penatua dari kaum mereka sendiri, menerjemahkan Alkitab, membuat peternakan, membuka poliklinik dan berbagai fasilitas agar mereka bisa mandiri. “Kami tahu sesudah 17 tahun itu sudah cukup, kami harus buka pelayanan baru. Tuhan bilang suku baru yang harus kami layani adalah generasi muda. Mereka satu suku dengan bahasa dan budaya sendiri yang harus dijangkau. Jadi kami pindah ke kota Sentani, dekat Jayapura dan mulai pelayanan gereja anak muda. Dengan banyak anak muda yang tidak merasa gereja relevan lagi. Kami coba buat pelayanan yang lebih terfokus dengan keperluan mereka.” Kini mereka melayani di Pondok Kemuliaan Sentani Papua.

Guys, apakah kamu Jim Yost berikutnya? Masih banyak ladang misi yang butuh orang-orang yang mau memenuhi panggilannya. Jim Yost membagikan sesuatu yang perlu kita ingat kalo kita terbeban dalam pelayanan misi. “Dengarlah suara Tuhan waktu masih muda, mulai melangkah dan cobalah melayani Tuhan dengan apa yang ada padamu. Jangan takut gagal, Tuhan bisa pakai kegagalan itu sebagai pelatihan buat kita. Anak muda sangat fleksibel, bisa pergi kemana-mana, berbuat apapun, makan apapun, belajar bahasa manapun”.

Satu lagi pesan Jim adalah jangan takut untuk belajar budaya baru di tempat kita melayani, Tuhan akan mencukupi semua apa yang kita perlu. “Yang penting kita mulai taat dan melangkah dengan Tuhan. Dia akan memberi kemampuan. Misi ada di tangan anak muda sekarang. Seperti di pertandingan lari. Sekarang kami memberi tongkat pada anak muda dan anak muda akan melebihi kami. Ini sesuatu yang baru untuk generasi sekarang. Setiap generasi pasti ada yang baru tidak bisa meneruskan dari generasi yang lama.” (**)

No comments:

Post a Comment